Sabtu, 20 September 2014

SURABAYA BUKAN KOTA PELACURAN

Galery Teraskota - Surabaya: Tidak dapat dipungkiri kenyataan otentik bahwa di Surabaya pernah bercokol kompleks pelacuran terbanyak, baik di era penjajahan Belanda maupun  di era orde baru. Akibat lemahnya kontrol atas bangunan oleh pemerintah Gemeente maka sejak zaman Belanda banyak bangunan rumah dimanfaatkan untuk rumah bordil. Sampai kemudian Gemeente menerbitkan peraturan daerah tentang larangan bangunan untuk pelacuran dan peraturan daerah tentang larangan wanita memikat laki-laki. Dampak buruk dari maraknya pelacuran, baik dalam bentuk rumah, kompleks dan nonkompleks di kota Surabaya maka pemerintah Belanda mendirikan rumah sakit kelamin di kawasan Krembangan yang kemudian ditiadakan sekitar tahun 1985-an. Padahal di kota-kota lain di Indonesia tidak  ada rumah sakit kelamin seperti di kota Surabaya. Dalam perjalanannya ternyata pelacuran di Kota Surabaya juga marak setelah kemerdekaan RI. Setidakanya di Kota Surabaya suah berkembang kompleks pelacuran besar yaitu di kawasan Tambahrejo, Tambakjati, Tambak Laban sampai ke sekitar makam Kapas Krampung serta di kawasan Tembok Bolong  menembus Petemon Kuburan dan kedua kompleks pelacuran itu memenuhi laki-laki hidung belang yang berkantong tipis. Sementara itu kompleks pelacuran untuk laki-laki hidung belang etnis tertentu yang berkantong tebal berada di seputar Jembatan Merah, Kembang Jepun, Waspada, seputar pasar Atom dan Semut bahkan melebar sampai ke Pasar Besar. Perkembangan pelacuran di wilayah Utara Surabaya karena pusat pemerintahan dan pusat bisnis perdagangan yang  berbasis angkutan laut dan terbesar di Timur Nusantara terkonsentrasi di sana. Tempo doleoe Surabaya Utara dikenal sebagai down town  atau kota bawah seperti diAmerika Serikat. Kehidupan ekonominya berlangsung sepanjang waktu yang pada gilirannya menggeret perkembangan bisnis jasa kepariwisataan yang mengakibatkan kota bawah tidak pernah tidur. Perkembangan perdagangan di kota bawah memantik perputaran uang berlangsung sepanjang waktu yang kemudian membikin banyak orang mudah mendapatkan uang. Ekses negatif mengikutinya seperti tumbunnya pusat-pusat perjudian, mabok-mabokan, ketergantungan pada obat bius, berkembangnya pelacuran dan trafiking sampai ke tindak pidana kekerasan dan bahkan  pembunuhan.
Sampai tahun 1964 luas kota Surabaya hanya 100,09 Km2. Di wilayah timur terjauh di Desa Mojoarum Kaliwaron Kecamatan Gubeng, di selatan terjauh di Ndresmo - Wonokromo sampai ke Wonoboyo. Di barat wilayah geografis Surabaya terjauh sampai Kali Simorukun yang menembus Kali Greges - Gadukan terus ke lapangan terbang Bumimoro. Sementara itu pusat perdagangan terkonsentrasi di CDB Tunjungan, Gemblongan, Praban, Blauran, Embong Malang, dan Jl kaliasin. Tidak berlebihan kalau kemudian warga kota Surabaya semuanya memadati CDB Tunjungan yang kemudian digambarkan oleh Musmulyadi dalam lagu "Rek Ayo Rek Mlaku-mlaku Nang Tunjungan." Di CDB Tunjungan sejak zaman Gemeete berkembang jasa perhotelan dan hiburan malam, dimana marak club-club malam, bar sampai bisnis permainan judi rolet, casino, dan judi kartu dan sekak cina dan yang mengikuti kesemuanya adalah bisnsis pelacuran terselubung. Pendek kata CDB Tunjungan juga andil dalam menumbuhkembangkan pelacuran di kota Surabaya. Memang kesemua persoalan di kota Surabaya jarang dikomunikasikan karena banyak pelaku yang meninggal dunia dan membawa pengalamannya yang berharga hanya untuk dirinya sendiri. (bersambung).       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar